(Ladislaus Naisaban, anggota LP3KN-bidang lomba)
Umat Katolik Indonesia patut bergembira karena PESPARANI II yang tertunda dari tahun 2020 akan segera terlaksana pada tanggal 28 hingga 31 Oktober 2022 di Kupang, NTT. Pesta Paduan Suara Gerejani (PESPARANI) Katolik ini diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan dan Pengembangan PESPARANI Katolik Nasional (LP3KN), bekerja sama dengan Lembaga Pembinaan dan Pengembangan PESPARANI Daerah (LP3KD) NTT. LP3KN dibentuk oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan Pemerintah (Bimas Katolik RI) dan telah beraktivitas sejak tahun 2017. Para pengurusnya terdiri dari perwakilan Gereja (KWI), Pemerintah (Bimas Katolik RI), dan Umat (Perwakilan ormas-ormas katolik). Lembaga yang dinakodai Prof. Adrianus Meliala ini, mengusung visi: terwujudnya aktivitas menggereja, Seni Budaya Gerejani yang hidup dalam kehidupan menggereja, bermasyarakat dan bernegara. Dan salah satu misi yang ingin dikembangkan adalah menggiatkan pastisipasi umat dalam menyemarakan seni budaya dan liturgi Gereja yang bertumpu pada warisan tradisi budaya gerejani dan musik liturgi serta pengembangan liturgi yang bersifat inkulturatif. Dengan semangat misi ini dan dalam konteks terselenggaranya PESPARANI Katolik Nasional 2 di NTT, maka kami menurunkan di sini suatu refleksi tentang Inkulturasi musik Liturgi Gereja Katolik di NTT.
Jejak inkulturasi musik liturgi Gereja Universal telah terjadi sejak awal berdirinya Gereja itu sendiri. Sudah sejak abad-abad pertama Gereja berani mengadaptasi diri dengan budaya Yahudi. Perayaan liturginya menyesuaikan diri dengan ibadat Sinagoga Yahudi. Khusus mengenai nyanyian liturgi, gereja perdana mengambil alih beberapa unsur dari ibadat Sinagoga seperti nyanyian mazmur, aklamasi Amen, Alleluya dan nyanyian kudus. Dalam perkembangan selanjutnya, nyanyian liturgi semakin menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. St. Ambrosius (340-397) pada abad 3-4, memasukkan suatu bentuk nyanyian yang baru ke dalam ibadat yang disebutnya dengan nama “himne”. Sejak itu himne menjadi nyanyian umat. Bentuk nyanyian ini mengalami perkembangan yang pesat dan mencapai puncaknya pada masa Paus Gregorius Agung (abad 6-7). Paus Gregorius I yang kemudian digelar agung ini mempunya perhatian yang besar terhadap nyanyian dalam liturgi. Usahanya adalah mengumpulkan lagu-lagu himne, mempengaruhi praktek membawakan dan menciptakan musik gereja. Beliau juga mendirikan sekolah musik yang khusus mendidik penyanyi-penyanyi gereja. Lagu-lagu yang dikumpulkan Paus Gregorius Agung ini, oleh Paus Leo IV (847-855) disebut sebagai “Carmen Gregorianum” yang selanjutnya dinamakan lagu-lagu Gregorian. Pada abad 12-13 terjadi suatu perkembangan baru lagi dalam musik leturgi yaitu lahirnya suatu bentuk lagu dalam beberapa suara yang disebut dengan nama nyanyian polyfon. Dengan adanya bentuk lagu ini, maka lahir pula paduan suara gereja yang membutuhkan penyanyi-penyanyi terlatih. Bentuk nyanyian polyfon ini tidak menggeser atau menggantikan nyanyian Gregorian tetapi keduanya tetap merupakan harta musik liturgi Gereja yang masih dipelihara sampai sekarang.
Jejak inkulturasi musik liturgi Gereja NTT dimulai sejak awal abad 20. Karena kebutuhan pastoral, maka para misionaris SVD yang bertugas di wilayah NTT merasa perlu menerjemahkan lagu-lagu liturgi ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah setempat, sehingga perayaan liturgi tidak menjadi asing bagi umat. Di samping itu para misionaris juga mengambil motif lagu-lagu daerah setempat yang dianggap cocok lalu melakukan kreasi baru untuk kebutuhan musik liturgi Gereja. Itulah yang dilakukan Pastor Frans Dorn, SVD yang didukung kuat oleh uskup Van Bekum SVD di wilayah Manggarai, Pastor Does SVD (Poestardos) dan Pastor Van der Heijden SVD di Seminari Mataloko serta Pastor Vincent Lechovic SVD dan Pastor P. Johanes Deuling SVD di Timor.
Upaya awal adaptasi musik liturgi Gereja yang dilakukan di Manggarai adalah menerjemahkan lagu-lagu berbahasa Latin ke dalam bahasa Manggarai. Pada tanggal 13 Mei 1922 Pastor Frans Dorn SVD, bersama anak-anak sekolah di Ruteng berlatih menyanyikan lagu Gereja dalam bahasa Manggarai, dan tanggal 21 Mei 1922, untuk pertama kalinya mereka menyanyikan lagu-lagu itu pada saat misa hari Minggu. Tanggapan positif bermunculan atas terjemahan lagu tersebut. Uskup van Bekkum berperan penting dalam proses adaptasi lagu-lagu asli Manggarai ke dalam lagu Liturgi antara tahun 1926-1935. Ia juga mendorong supaya semua lagu itu dikumpulkan dalam sebuah buku yang kemudian dikenal dengan nama: Dere Serani. Pengkristenan lagu-lagu asli dan penerjemahan lagu-lagu asing ke dalam bahasa Manggarai sangat membantu pertumbuhan iman umat pribumi, dan mendapat sambutan baik dari umat. Karena respon positip umat ini, maka pada tahun 1941 Dere Serani mencul dalam stensilan yang dikemas dalam bentuk bendelan kecil. Tahun 1947, buku nyanyian Dere serani dicetak untuk pertama kali di Percetakan Arnoldus Ende, setelah mendapat izin dari Vikarius Apotolik Ende, Mgr. Hendrik Leven, SVD. Cetakan pertama tersebut didominasi lagu-lagu terjemahan, sedangkan lagu asli Manggarai hanya beberapa saja. Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1954, Dere Serani dicetak untuk kedua kalinya dengan berisikan 94 lagu. Lagu asli Manggarai berjumlah 17 buah dan lagu terjemahan berjumlah 77 buah. Setelah dihimbau oleh Uskup van Bekkum untuk membuat lagu gereja bercita rasa Manggarai, maka pada tanggal 27 Juli 1960 Komisi Liturgi Vikariat Ruteng mengeluarkan buku lagu-lagu Gereja hasil karya pengarang dari Manggarai yakni Dere Serani II. Dalam buku tersebut terdapat 52 buah lagu Gereja asli Manggarai yang dibuat oleh 24 komponis asli pribumi. Tidak berhenti sampai di sana, Uskup van Bekkum mendorong pula para pengarang dan musikus untuk membuat lagu dengan komposisi modern dalam bahasa Indonesia. Hasilnya pada tahun 1973 diterbitkan lagu buku Dere Serani cetakan keempat yang berisikan lagu-lagu dengan komposisi asli lokal Manggarai dan modern. Cetakan keempat ini berisikan 224 lagu yang di antaranya terdapat 135 lagu asli Manggarai. Kemudian, di tahun-tahun selanjutnya Dere Serani terus dicetak dengan penambahan doa-doa harian dalam Bahasa Manggarai.
Sementara itu, sudah sejak tahun 1930, di Seminari Menengah Mataloko, Pastor Does SVD (Pustardos), menerjemahkan lagu-lagu dari Gereja Eropa yang kemudian dikumpulkan dan diterbitkan sebagai buku pada tahun 1937 dengan nama Jubilate. Lagu-lagu di dalam buku nyanyian Jubilate itu berisi tentang lagu-lagu romantis abad XIX dan dilengkapi dengan beberapa lagu Gregorian yang sudah sering dipakai selama bertahun-tahun. Pada tahun 1947, buku Jubilate tersebut disempurnakan dan kemudian dijadikan buku pegangan umat Katolik Vikariat Apostolik Ende dan Timor yang terbentang dari NTT, NTB dan Bali. Buku Jubilate ini merupakan suatu prestasi yang tinggi bagi gereja, karena dikerjakan oleh tim yang benar-benar tahu akan musik dan liturgi, dan bertahan penggunaanya hingga sekarang. Mayoritas umat Katolik di Flores dan Timor telah berkembang secara vokal dalam paduan suara dan fasih menggunakan buku Jubilate dalam peribadatan dan misa. Lebih dari itu, buku nyanyian Jubilate selama bertahun-tahun menjadi satu-satunya buku nyanyian bagi umat Katolik di Indonesia Timur dan beberapa tempat lain di Indonesia. Buku ini juga terkenal karena bukan hanya memuat lagu-lagu liturgi, tetapi juga doa-doa pokok Gereja katolik yang praktis dan menjadi buku pegangan untuk kegiatan liturgi/ibadat, baik di Gereja maupun di komunitas biara dan keluarga. Karena begitu terkenalnya Jubilate di lingkungan Gereja Katolik Indonesia sehingga menyebut Jubilate orang ingat Gereja NTT, dan sebaliknya sebut gereja NTT orang ingat Jubilate. Pada tahun 1970 P. van der Heijden SVD bekerja sama dengan P. Alex Beding SVD, berhasil mengumpulkan dan menerbitkan sebuah buku nyanyian lain lagi selain Jubilate dengan nama Syukur Kepada Bapa. Walau lagu-lagu dalam Jubilate maupun Syukur Kepada Bapa, masih bernuansa musik Barat, namun perlahan tapi pasti, inkulturasi musik di Mataloko juga menunjukkan perkembangannya lewat karya P. Van der Heijden, SVD dan Martin Runi. Mereka memunculkan pembaruan lagu-lagu inkulturasi lewat kolaborasi dengan para seniman lokal.
Apa yang terjadi di Flores, juga terjadi di Gereja Katolik Timor (Keuskupan Atambua dan Keuskupan Kupang), yang diprakarsai oleh Pastor Vincent Lechovic, SVD. Tahun 1953 beliau ditempatkan sebagai pastor Katolik pertama di Soe, Timor Tengah Selatan, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan. Tantangan pertama yang dialami beliau adalah tidak adanya buku nyanyian untuk misa dan ibadat liturgi lainnya, serta adanya kesulitan bahasa dalam mengajar umat yang buta huruf untuk menjadi katolik. Di sisi lain, ia menyaksikan masyarakat Dawan yang ia layani memiliki tradisi musik yang kaya: seperti bernyanyi bersama ketika membersihkan kebun, bernyanyi bersahut-sahutan sambil mengikat jagung, bernyanyi ketika mengambil madu hutan, bernyanyi ketika mengiris tuak, meniup seruling ketika menggembalakan sapi. Eksotisme dan kekayaan corak lagu orang Dawan ini menarik perhatian Pastor Lecho untuk mengatasi kesulitan pastoral yang ia hadapi. Selanjutnya Ia coba mengumpulkan lagu-lagu asli Dawan untuk digubah ke dalam musik liturgi. Usaha lainnya adalah menerjemahkan lagu-lagu “Top hit” dari buku nyanyian Jubilate ke dalam bahasa Dawan dengan beberapa penyederhanaan yang perlu. Usaha ini tidak sedikit tantangannya, tetapi P. Lecho, tetap berusaha yang akhirnya membuahkan hasil, yaitu dengan terbitnya buku nyanyian dalam bahasa Dawan untuk pertama kalinya dengan nama “Tsi Tanaeb Uis Neno” (bernyayi memuliakan Tuhan) yang di dalamnya berisi 100 buah lagu dengan perincian: 52 lagu terjemahan dari Yubilate, 18 lagu tradisional Dawan dan 20 lagu Gregorian. Kesan pater Lecho bahwa usaha ini merupakan “beban bagi saya, tetapi menambah semangat saya waktu mempersembahkan misa”. Selanjutnya buku Tsi Tanaeb Uis Neno terbit untuk kedua kalinya pada tahun 1962 dengan beberapa perbaikan yang perlu. Terbitan yang kedua ini terdapat tambahan pada lagu asli yaitu dari 18 lagu menjadi 28 lagu asli dan 20 lagu mazmur. Usaha pater Lecho ini mendapat sambutan hangat dari para misionaris yang bekerja di Timor karena usaha ini sedikitnya mengurangkan beban mereka dalam pewartaan dan nyanyian dalam perayaan liturgi. Usaha ini juga mendapat respons sangat positip dari umat karena lagu yang mereka nyanyikan dalam perayaan liturgi adalah lagu berdasarkan ciri khas melodi dan irama mereka sendiri. Pater Lecho mendapat kesan bahwa mereka (umat) menyanyikan lagu-lagu itu dengan rasa terharu yang dalam. Terbitan pertama dan kedua ini mendapat imprimatur dari Uskup Atambua, Mgr. Theodorus van den Tillaart, SVD, sedangkan edisi ketiga yang terbit pada tahun 1976 mendapat imprimatur dari Uskup Kupang Mgr. Gregorius Manteiro, SVD. Selain menerbitkan buku Tsi Tanaeb Uis Neno, Pater Lecho juga menggubah lagu-lagu misa dalam bahasa Indonesia dengan mengambil lagu-lagu daerah Timor sebagai motif dari lagu-lagu tersebut. Lagu-lagu ini kemudian terkumpul dalam buku yang dikenal dengan nama “Nyanyian untuk Kurban Misa”. Buku ini mendapat respons yang luar biasa dari umat Katolik di seluruh pelosok NTT, hingga mengalami cetak ulang yang ke enam kalinya pada tahun 1975. Sementara itu P. Johanes Deuling SVD, melakukan yang sama di wilayah keuskupan Atambua yang berbahasa Tetun. Dia mengumpulkan dan menerjemahkan lagu-lagu ke dalam bahasa Tetun yang kemudian diterbitkan dengan nama buku nyanyian Dakado di tahun 1964 dengan imprimatur Vicarius Jenderal keuskupan Atambua, Pastor Heinrich Janssen, SVD. Buku ini masih mengalami cetakan kedua pada tahun 1977.
Pertumbuhan adaptasi musik liturgi semakin subur setelah adanya Konsili Vatikan II di tahun 1965. Dalam Konstitusi Liturgi bab yang keenam nomor seratus sembilanbelas, Konsili menghimbau para misionaris di daerah-daerah misi supaya menghargai tradisi musik keagamaan bangsa-bangsa setempat, dan lebih jauh lagi menyeruhkan supaya para misionaris menyesuaikan musik liturgi dengan tradisi musik setempat. Himbauan ini semakin membakar semangat para misionaris SVD yang sedang berkarya di wilayah Nusa Tenggara, sekaligus vitamin untuk para pegiat musik liturgi, baik klerus maupun awam. Terhitung sejak tahun 1966 Seminari Tinggi Ledalero Flores merupakan pusat pencarian nyanyian ibadat baru. Mulai dengan seri buku nyanyian Turut Serta yang diprakarsai Jan Riberu bersama Dan Kitti SVD, Martin Runi, dan Alfons Hayon SVD, dan terbit di Ende pada tahun 1967. Selanjutnya pada Pancawindu Seminari Mataloko pada tahun 1970, Martin Runi, mengarang sederetan lagu misa dengan motif lagu adat Ngada. Lagu-lagu misa ini untuk pertama kali dikombinasikan dengan tarian dan dinyanyikan selama misa Pancawindu Seminari Mataloko. Berdasarkan pengalaman ini maka Martin Runi kemudian menciptakan misa Senja yang diambil motifnya dari lagu Oras Loro malirin dari Belu Malaka. Pada tahun 1974, keuskupan Larantuka mendapat seorang uskup baru yaitu Mgr. Darius Nggawa SVD. Terdorong oleh kebanggaan atas diangkatnya seorang pribumi sebagai uskup setempat, maka Matius Weruin, seorang guru musik yang cukup terkenal di seluruh Flores Timur, mengarang sebuah misa dengan mengolah bagian-bagian lagu daerah setempat yakni lagu Dolo-dolo menjadi Misa Dolo-dolo. Misa ini segera merebut hati umat sehingga dengan cepat tersebar di seluruh wilayah Katolik Nusa Tenggara Timur. Sementara itu di Kupang, Apoly Bala juga aktif menciptakan lagu-lagu inkulturatif yang banyak digunakan di paroki-paroki NTT. Dan seri lagu misa yang beredar luas adalah misa Charitas di tahun 1975. Tahun 1977 Seminari Tinggi Ledalero kembali menjadi pusat perkembangan lagu liturgi, berhubung akan dirayakannya HUT ke-40 Seminari Tinggi ini. Di bawah koordinasi komponis P. Anton Sigoama SVD, P. Alfons Hayon SVD dan P. Dan Kitti SVD, terciptalah sebuah seri lagu misa dengan judul Misa Pengembara. Tahun 1987, Seminari Tinggi Ledalero merayakan pesta Emas. Dibawah komando Dosen Liturgi Pastor Dr. Niko Hayon SVD, penulis mengkoordinir sejumlah frater untuk menciptakan satu seri lagu misa berdasarkan motif lagu etnik yang ada di NTT. Hasilnya, lagu Pembukaan berdasarkan motif lagu Dawan Timor, lagu Antar Bacaan berdasarkan lagu motif Manggarai, Persembahan berdasarkan lagu motif Sika, komuni berdasarkan motif lagu Lio Ende, dan penutup berdasarkan motif lagu Flores Timur. Seri lagu misa ini dinyanyikan dengan iringan tarian dari masing-masing daerah asal lagu.
Gerakan inkulturasi musik liturgi di Gereja NTT juga mendapat dukungan dari Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta. PML Yogyakarta, yang waktu itu dipercaya KWI untuk mengembangkan musik kiturgi di Gereja Katolik Indonesia turut berperan di sini. Karena kebutuhan pastoral di lapangan maka pada tahun 1977, Bimas Katolik Nusa Tenggara Timur mengundang tim PML untuk memberikan penataran dirigen di keuskupan Kupang dan keuskupan Atambua, yang kemudian dilanjutkan pada bulan Juni 1978 di Manggarai. Saat di Manggarai, tim PML diundang oleh P. Van der Heijden SVD, untuk menyaksikan praktek inkulturasi musik di paroki Boba, Ngada. Tanggal 5 – 17 Oktober 1979 PML melakukan lokakarya keempat di Detusoko, keuskupan Ende. PML memberikan Lokakarya komposisi yang dibimbing oleh Rm. Prier SJ, dan Paul Widyawan. Lokakaria ini diikuti 35 peserta dari Flores, Sumba dan Timor. Peserta yang kebanyakan adalah para frater dari Ledalero dan Ritapiret ini menghasilkan 25 lagu inkulturatif khas Flores dan Timor. Selanjutnya PML masih terus memberikan lokakaria dirigen dan komposisi di wilayah Timor dan Sumba. Di Timor, khususnya keuskupan Atambua pada tahun 1986 di Betun, 1989 dan 1997 di Emaus. Tahun 2006 pelatihan di Camplong untuk keuskupang Kupang dan keukupan Atambua.
Waktu terus berputar, dan adaptasi musik liturgi pun terus berkembang sesuai dengan tempat dan waktu di mana liturgi itu dirayakan. Dekade tahun 1980-an memiliki tuntutan tersendiri. Buku Yubilate yang merupakan buku pegangan untuk ibadat dan misa, masih terus diperbaharui oleh tim musik liturgi dari keuskupan-keuskupan se-Nusa Tenggara, dan dicetak ulang untuk yang kesekian kalinya di percetakan Ende, Flores. Walau ada buku Yubilate, tetapi umat Katolik NTT yang sudah terbiasa bernyanyi dalam banyak suara membutuhkan buku koor untuk kebutuhan misa hari Minggu. Menjawabi kebutuhan ini, maka Ferdy Levy, guru SMA Syuradikara Ende, mengambil inisiatip dengan mengumpulkan lagu-lagu ciptaannya dan lagu para komponis Flores lainnya, untuk kebutuhan koor di paroki-paroki sekeuskupan Agung Ende. Kumpulan lagu-lagu ini kemudian diberi imprimatur oleh Mgr. Donatus Djagom, SVD dan dicetak di percetakan Ende, Flores dengan nama EXCULTATE. Tahun 1989 hingga awal tahun 1991, penulis berinisiatip mengumpulkan lagu-lagu misa yang diciptakan berdasarkan ciri khas melodi dan irama musik daerah Timor. Selanjutnya bersama tim musik liturgi keuskupan Atambua yang terdiri dari Alo Neno, Abraham Taek, dan Agnes Asi, memeriksa dan memperbaiki lagu-lagu itu berdasarkan tuntutan liturgi yang berlaku, lalu diterbitkan dalam bentuk buku koor. Buku yang mendapat Nihil Obstat dari P. Yustus Asa, SVD (Provinsial SVD Timor saat itu) dan Imprimatur dari Mgr. Anton Pain Ratu, SVD (Uskup Keuskupan Atambua saat itu) dicetak untuk pertama kali di percetakan Ende, Flores pada tahun 1993 dengan nama: GITA BAHANA. Buku yang pada tahun 2020 mengalami cetak ulang yang ketujuh ini masih merupakan buku pegangan bagi umat Katolik keuskupan Atambua. Selanjutnya dari pusat biara Bruder SVD St. Kondradus Ende, P. Yustin Genohon SVD mengumpulkan lagu-lagunya dan lagu-lagu ciptaan para alumni Seminari Tinggi Ledalero, lalu kemudian diterbitkan dalam sebuah buku yang dinamakan Laudate. Buku yang dinihil obstat oleh P. Niko Hayon SVD dan diimprimatur oleh Uskup Ende, Mgr. Longginus da Cuna ini, terbit untuk pertama kali pada tahun 2004.
Kontribusi paling nyata dari Gereja NTT adalah dibukanya Prodi musik di UNIKA Widya Mandira Kupang pada 12 Maret 1982, atas usul para pimpinan Tarekat SVD Indonesia dan para Uskup NUSRA. Sejak itu, Prodi yang pernah melibatkan para musikus senior SVD seperti P. Anton Sigoama SVD, P. Dan Kiti SVD dan P. Pit Wani SVD ini, telah menghasilkan banyak Sarjana musik yang mengajar pendidikan musik di sekolah-sekolah di NTT, sekaligus membantu kegiatan musik liturgi di Paroki-paroki. Sejak itu pula, Keuskupan Kupang telah berkembang menjadi salah satu pusat pengembangan nyanyian liturgi baru. Dari sini, muncul banyak lagu inkulturatif yang diprakarsai Apoly Bala, Piet Riki Tukan, Agus Beda Ama dan para dosen Musik UNIKA Widya Mandira Kupang.
PESPARANI Katolik Nasional II di Kupang adalah momen untuk merayakan perjuangan para misionaris yang telah membangkitkan semangat umat dalam berdoa dan bernyanyi. Mengapa musik mendapat perhatian Gereja dan para misionaris di tanah misi? Karena kata para Psikolog, musik adalah medium ajaib yang menggerakkan, menggugah, memberi tenaga, menghibur, menyembuhkan, membangkitkan semangat dan kasih sayang. Dalam konteks liturgi, musik menjernihkan pikiran, membangkitkan semangat doa, menghantar kita pada kenangan kasih Tuhan yang tanpa batas, menempatkan jiwa ke dalam kemuliaan serafim, membawa kita pada keagungan Tuhan Pencipta alam semesta. Maka pantaslah St. Agustinus mengatakan: Qui Bene Cantat Bis Orat (bernyanyi baik sama dengan berdoa dua kali). Dalam konteks kehidupan berbangsa, musik adalah medium pemersatu. Ia tidak mengenal suku, bahasa, agama dan ras. Semua orang merasa satu dalam gerakkan, bernyanyi, bergembira, semangat yang penuh kasih sayang. Dalam musik kita adalah saudara dalam merayakan kebhinnekaan bersama. Itulah cita-cita PESPARANI Katolik Nasional II Kupang yang tertuang dalam tema perayaannya: Membangun Persaudaraan Sejati untuk Indonesia Maju.
Sumber:
- Naisaban, L. Sejarah Gereja Katolik Pulau Timor dan Sekitarnya: tahun 1556-2013, Penerbit Lapopp Press Jakarta, 2013.
- Yohanes S. Lon dan Fransiska Widyawati. “Adaptasi dan Transformasi Lagu Adat Dalam Liturgi Gereja Katolik di Manggarai Flores”, Jurnal Kawistara, Volume 10, No. 1 (Universitas Gadjah Mada: 22 April 2020).
- Simon Arief hardian Putra. Inkulturasi Prier Memperkaya Ekspresi Iman Dengan Musik. Tesis S2, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2018.
- https://pesparani.or.id